Tuesday, 1 November 2016

Ketika Takdir Berbicara

Musibah adalah salah satu takdir. Dan selalu ada hal yang patut disyukuri dari setiap peristiwa.

Ahad pagi itu. 16 Oktober 2016.

Kujahit kerudung baru untuk menghadiri pernikahan putera seorang guru. Satu jam sebelum jam yang ditentukan, kerudung sudah jadi. Semalam, kainnya sudah saya cuci.

Setengah jam menjelang, saya sudah siap.

"Mama berangkat, yaaa." Seru saya pada anak-anak. Thariq dan Farid kompak menjawab sementara Zaki, as always, menyatakan keberatannya.

Dan seperti biasa, Thariq berhasil menenangkan si tengah.

"Ok, kalian mandi dan rapikan diri. Mama sekejap, je. Nanti lepas dari kondangan kita potong rambut dan pergi ke rumah Mbah. Yang Mi syukuran."

Anak-anak senyum.

Diantar Thariq, dibukakan pagar, saya berangkat. Bermotor. Mampir beli amplop, sekalian saya masukkan hadiah untuk tuan rumah, ke dalam amplop.

Saya bayangkan, nanti akan berjumpa dengan teman-teman di sana.

Selesai membeli amplop, saya nyalakan motor. Seraya menjalankan motor perlahan, saya lantunkan doa naik kendaraan.

Minggu yang lengang.

Keluar dari gate perumahan, tetap sepi. Saya melenggang santai. Setelah Graha Dewata, saya belok kanan. Masih di tepi kiri, saya lihat spion. Sepi. Saya tekan lampu sein kanan sebelum kemudian bergerak ke tengah. Beberapa meter lagi saya akan belok kanan. Tepat di tengah, saya lihat spion. Tampak kilatan lampu motor di belakang saya. Kelihatannya motor itu kencang sekali.

Saya belokkan motor ke kanan.

Blast!

Dalam hitungan detik, saya merasa sudah si bawah. Di aspal. Terseret beberapa meter, memcoba berhenti tapi tak bisa serta merta melakukannya. Saya lihat orang ramai mengerumuni saya. Motor sudah jauh tertinggal di belakang. Sepatu terlepas, robek. Dan kaos kaki saya berlubang dengan darah dan kulit yang sobek.

Seorang gadis mendekat. Mengaku menabrak.

Tanpa bisa menahan diri, saya marahi dia. Saya sudah memasang sein, dia malah ikut ke kanan. Harusnya ia ambil kiri. Saya tanya SIM, dia ga punya. Makin sebel jadinya.

Dua puluh menitan saya duduk di kursi depan pos satpam. Seorang akhwat yang bertugas sebagai panitia nikahan menghampiri. Berkata akan memberi obat. Tunggu punya tunggu tak ada apa-apa. Sementara gadis yang menabrak saya terlihat menghubungi keluarganya.

Karena tak tahan dengan nyeri di paha dan punggung kaki, saya minta diantar pulang. Sayangnya, semua tampak sibuk jadi panitia. Sementara para ikhwan tampak kikuk. Wallahua'lam, entah apa alasan mereka.

Pagi itu, saya tak jadi ke kondangan. Saya balik rumah tanpa sempat masuk ke sang guru yang sedang berbahagia.

Sesampai di rumah, anak-anak terkejut melihat Mamanya terluka. Terlebih saat saya cerita. Tampak benar mereka ikut kesal.

Luka saya cuci. Saya beri betadine dan gamat. Darah terus mengucur karena luka cukup lebar dan dalam.

Saya memilih tiduran di kasur seraya menghubungi orang-orang tersayang.

Mas dan Kholis sepakat membawa saya ke UGD. Saya nurut. Tak punya pilihan.

Jam 12, Kholis datang. Memesan Ayam Yogya dab Pizza untuk keponakannya lalu mengajak saya
 ke RSSA.

Allah...

Sesampai di RSSA, saya langsung ditangani. Tensi 140/85. Iyalah, deg-degan!

Gelang pasien dipakaikan dan saya pun masuk ICU. Diperiksa dokter residen spesialis syaraf. Aman. Spesialis tulang. Dicek. Ada kemungkinan patah tulang.

Dalam masa 8 jam di ICU, saya di Xray 2 kali. Dijahit. Diobservasi. Dan tepat pukul 7.30 saya diizinkan pulang.

Ada banyak cerita terkait ini.

Tentang adik siaga. Suami yang tanggung jawab. Dan kasih sayang tak bertepi Ibu Bapakku.

Alhamdulillah ala kulli hal...

Saturday, 7 May 2016

Anak dan Rezekinya



Catatan Awal Tahun 2016

Setiap anak lahir dengan rezeki masing-masing. Saya kembali menyadari kebenaran kalimat itu. Seperti pengalaman kami awal tahun ini.

Tidak seperti abangnya yang ketika pindah ke Malang sudah mendapat kepastian sekolah baru yang akan dituju, Zaki Hannan tidak demikian. Bocah lelaki Sembilan tahun kami itu masih belum jelas akan sekolah di mana. 

Usaha Ayahnya untuk mencarikan sekolah, September lalu, sedikit mengalami kendala.
Zaki yang selama ini terbiasa sekolah di tahfidz, menginginkan celana panjang untuk seragamnya. Sementara Lab School Universitas Negeri Malang, SD yang disarankan oleh kawan baik Sang Ayah, tidak menyediakan kebijakan itu. Di sana, celana paling panjang adalah beberapa senti di bawah lutut. Permintaan khusus Zaki untuk memakai celana panjang pun ditolak dengan alasan tidak sesuai peraturan sekolah. Bahkan setelah Ayahnya menjelaskan pun, kepala sekolah hanya bisa menjanjikan untuk membahasnya, bukan menyetujuinya.

Berbekal informasi itu, beberapa hari setelah kami tiba di Malang pun, suami menuruti keinginan saya untuk mencoba masuk ke MIN Malang 1. Tragis, sekolah yang saya idamkan untuk sekolah si tengah itu  menolak mentah-mentah pendaftaran Zaki, dan meminta datang kembali bulan April 2016, untuk mengikuti prosedur penerimaan siswa baru secara reguler. Permintaan itu berarti Zaki harus menganggur beberapa bulan. Dan sebagai orang tuanya kami sangat paham, menganggur bagi Zaki bukanlah ide bagus. Ia, dengan latar belakang sekolah yang cukup longgar selama di JB, bisa-bisa malah menjadi malas bersekolah ketika waktunya tiba nanti. Maka serta merta kami mencoret MIN Malang 1 sebagai pilihan.

Beberapa hari menjelang akhir tahun 2015, Thariq dan Ayahnya kembali ke Lab school untuk memastikan diterimanya Zaki. Hasil akhirnya, Zaki diterima di kelas 3. Syukur kami haturkan ke hadirat Ilahi Rabbi. Bayangan tempat sekolah pun makin nyata di benak kami. Soal celana panjang, saya berhasil memengaruhi Zaki untuk tidak terlalu menuntut. 

“Aurat lelaki kan dari pusat sampai lutut, Zak. Jadi nanti kita buat celana tiga perempat, ya,” rayu saya sembari menunjuk pertengahan lutut dan tumit. Alhamdulillah ia menurut.
Sayangnya, berita bahagia itu tak berlangsung lama. Keesokan harinya, kami mendapat kabar bahwa Zaki harus mengikuti tes masuk sebab ada seorang calon murid baru dari Batam sementara kuota yang diterima hanya seorang saja.

“Wah, mana bisa, Yah? Mana paham dia Bahasa Indonesia? Bagaimana dengan Matematika? Mama dengar materinya jauh dibandingkan JB,” tanya saya resah.  “Coba Ayah pastikan.”

Tanpa banyak kata, suami pun memastikan informasi ini bahkan mengabari sang kawan baik yang sekarang sudah menjadi orang penting di UM dan suaranya dipertimbangkan. 

“Sepertinya itu hanya formalitas, Ma. Setidaknya begitu kata kawan Ayah.”

Sayangnya hati saya sudah merasa tak enak. Entah mengapa, rasanya seperti dipermainkan. Akhirnya kami sepakat untuk mencari alternative sekolah lain. 

Esoknya, tanggal 31 Desember, kami pun hunting. Tujuannya mencari SDN di sekitar rumah, yang dari luar tampak bagus. Yang tidak kumuh dan yang banyak pialanya. Aduh, konvensional banget pertimbangannya. Tapi untuk waktu yang sempit, kami rasa inilah pertimbangan paling masuk akal untuk mendapatkan sekolah terbaik bagi Zaki. 

SDN pertama yang kami datangi adalah SDN Dinoyo 1, dekat pintu air dan pintu masuk jalan menuju rumah. Sayangnya sekolah itu kosong. Memang tanggal segitu sudah memasuki liburan akhir tahun. Kami pun pergi dengan tangan kosong, menuju sekolah berikutnya: Brawijaya Smart School.
Seperti SDN Dinoyo 1, sekolah yang tampak megah itu pun terkunci. Suara ketukan di pagar tak membuat pemilik motor satu-satunya yang ada di halaman sekolah, datang menemui kami. Dua kali mendapati sekolah-sekolah kosong, semangat mulai mengendur. 

Dengan gontai, kami menuju SDN Percobaan. Sekolah yang dibina di lingkungan Universitas Negeri Malang. Alhamdulillah, di sekolah ini masih ada kegiatan. Kami bersyukur sekali ketika ternyata kepala sekolah pun ada di tempatnya. Sayangnya, sang kepala sekolah yang baru dipindah dari kabupaten itu tak pernah mendapati pindahan dari luar negeri. Sempat kami terkaget-kaget ketika beliau menyatakan bahwa Zaki akan dimasukkan ke kelas satu karena system pendidikan yang berbeda dari kedua negara. 

“Waduh, ya nggak gitu, lah, Pak. Umurnya kan sudah Sembilan tahun, masak balik kelas satu,” tanggap suami keberatan.
Akhirnya kami pamit setelah dijanjikan akan diberi keputusan minggu depan.
Hari itu, kami pulang dengan perasaan sedih. Esok sudah tahun baru. Tanggal 4 Januari anak-anak sudah kembali masuk sekolah setelah cuti semester ganjil. Dan Zaki belum mendapat sekolah.
**

Tanggal 3 Januari, kami kembali berniat untuk mencari sekolah. Niat itu kami sampaikan pada Bapak dan Ibu yang sudah seminggu ini tiap hari ke rumah, membantu mengawasi tukang.
“Ajaklah Zakinya,” saran Bapak. 

Tadinya aku berniat untuk pergi berdua saja dengan suami. Tapi mempertimbangkan saran Bapak, akhirnya kami mengajak Zaki ikut serta. 

Dengan berbaju batik, si tengah duduk di tengah motor, kami apit. 

“Ke mana, ni, Ma? Gimana kalau ke Kauman 1?”

Entah, saya yang biasa mendebat usulan suami karena biasanya punya pertimbangan yang berbeda dengannya, hari itu mmenurut. Setuju seratus persen. Sepakat bulat. Sepenuh harapan kami pun berangkat ke sekolah yang terletak di sebelah Masjid Jami itu. 

Memasuki gerbang  SD favorit di Malang itu, selaksa doa saya panjatkan. Saya meminta Zaki berdoa, meminta yang terbaik dari Allah untuknya. Ia mengangguk.

Masuk ke ruang kepala sekolah. Duduk berjajar.
Bu Anita datang menemui. 

“Iya, Bu. Jadi saya kembali datang kemari, membawa Zaki.”

“Oh, ini yang mau sekolah, ya? Kelas 3, ya?”

Kami mengangguk. Bu Anita masuk kembali, pamit melihat kemungkinan kelas kosong. Datang kembali dengan wajah berbinar. 

“Alhamdulillah ada bangku untuk Zaki,” serunya menggetarkan jantung kami.

“Alhamdulillah, rezekimu, Nak,” saya terpekik gembira. Zaki tersenyum tenang. 

“Okey, karena sudah deal, saya pamit dulu, ya. Sebentar lagi Bu Retno datang, mengurus semuanya,” ujar Bu Anita. 

Kami mengangguk, mempersilakan. 

Proses berikutnya cepat sekali. Sebagai tanda syukur kami menyumbang sesuai ketentuan yang ditetapkan, lima juta rupiah.
Dan berita gembira kembali datang karena sejak dulu, SDN Kauman 1 menyediakan celana panjang untuk siswanya. 

Allahu Akbar!

Betapa setiap anak memiliki rezekinya sendiri-sendiri. Terima kasih, Allahku. Atas rezeki besar pendidikan si tengah kami. 

Semoga kau dapatkan ilmu manfaat di tempat terbaik pilihan Allah itu, ya Nakku. Aamiin aamiin yaa robbal ‘alamiin.**