Catatan Awal Tahun 2016
Setiap anak lahir dengan rezeki masing-masing. Saya kembali
menyadari kebenaran kalimat itu. Seperti pengalaman kami awal tahun ini.
Tidak seperti abangnya yang ketika pindah ke Malang sudah
mendapat kepastian sekolah baru yang akan dituju, Zaki Hannan tidak demikian.
Bocah lelaki Sembilan tahun kami itu masih belum jelas akan sekolah di mana.
Usaha Ayahnya untuk mencarikan sekolah, September lalu,
sedikit mengalami kendala.
Zaki yang selama ini terbiasa sekolah di tahfidz,
menginginkan celana panjang untuk seragamnya. Sementara Lab School Universitas
Negeri Malang, SD yang disarankan oleh kawan baik Sang Ayah, tidak menyediakan
kebijakan itu. Di sana, celana paling panjang adalah beberapa senti di bawah
lutut. Permintaan khusus Zaki untuk memakai celana panjang pun ditolak dengan
alasan tidak sesuai peraturan sekolah. Bahkan setelah Ayahnya menjelaskan pun,
kepala sekolah hanya bisa menjanjikan untuk membahasnya, bukan menyetujuinya.
Berbekal informasi itu, beberapa hari setelah kami tiba di
Malang pun, suami menuruti keinginan saya untuk mencoba masuk ke MIN Malang 1.
Tragis, sekolah yang saya idamkan untuk sekolah si tengah itu menolak mentah-mentah pendaftaran Zaki, dan
meminta datang kembali bulan April 2016, untuk mengikuti prosedur penerimaan
siswa baru secara reguler. Permintaan itu berarti Zaki harus menganggur
beberapa bulan. Dan sebagai orang tuanya kami sangat paham, menganggur bagi Zaki
bukanlah ide bagus. Ia, dengan latar belakang sekolah yang cukup longgar selama
di JB, bisa-bisa malah menjadi malas bersekolah ketika waktunya tiba nanti.
Maka serta merta kami mencoret MIN Malang 1 sebagai pilihan.
Beberapa hari menjelang akhir tahun 2015, Thariq dan Ayahnya
kembali ke Lab school untuk memastikan diterimanya Zaki. Hasil akhirnya, Zaki
diterima di kelas 3. Syukur kami haturkan ke hadirat Ilahi Rabbi. Bayangan
tempat sekolah pun makin nyata di benak kami. Soal celana panjang, saya
berhasil memengaruhi Zaki untuk tidak terlalu menuntut.
“Aurat lelaki kan dari pusat sampai lutut, Zak. Jadi nanti
kita buat celana tiga perempat, ya,” rayu saya sembari menunjuk pertengahan
lutut dan tumit. Alhamdulillah ia menurut.
Sayangnya, berita bahagia itu tak berlangsung lama. Keesokan
harinya, kami mendapat kabar bahwa Zaki harus mengikuti tes masuk sebab ada
seorang calon murid baru dari Batam sementara kuota yang diterima hanya seorang
saja.
“Wah, mana bisa, Yah? Mana paham dia Bahasa Indonesia?
Bagaimana dengan Matematika? Mama dengar materinya jauh dibandingkan JB,” tanya
saya resah. “Coba Ayah pastikan.”
Tanpa banyak kata, suami pun memastikan informasi ini bahkan
mengabari sang kawan baik yang sekarang sudah menjadi orang penting di UM dan
suaranya dipertimbangkan.
“Sepertinya itu hanya formalitas, Ma. Setidaknya begitu kata
kawan Ayah.”
Sayangnya hati saya sudah merasa tak enak. Entah mengapa,
rasanya seperti dipermainkan. Akhirnya kami sepakat untuk mencari alternative
sekolah lain.
Esoknya, tanggal 31 Desember, kami pun hunting. Tujuannya
mencari SDN di sekitar rumah, yang dari luar tampak bagus. Yang tidak kumuh dan
yang banyak pialanya. Aduh, konvensional banget pertimbangannya. Tapi untuk
waktu yang sempit, kami rasa inilah pertimbangan paling masuk akal untuk
mendapatkan sekolah terbaik bagi Zaki.
SDN pertama yang kami datangi adalah SDN Dinoyo 1, dekat
pintu air dan pintu masuk jalan menuju rumah. Sayangnya sekolah itu kosong.
Memang tanggal segitu sudah memasuki liburan akhir tahun. Kami pun pergi dengan
tangan kosong, menuju sekolah berikutnya: Brawijaya Smart School.
Seperti SDN Dinoyo 1, sekolah yang tampak megah itu pun
terkunci. Suara ketukan di pagar tak membuat pemilik motor satu-satunya yang
ada di halaman sekolah, datang menemui kami. Dua kali mendapati sekolah-sekolah
kosong, semangat mulai mengendur.
Dengan gontai, kami menuju SDN Percobaan. Sekolah yang
dibina di lingkungan Universitas Negeri Malang. Alhamdulillah, di sekolah ini
masih ada kegiatan. Kami bersyukur sekali ketika ternyata kepala sekolah pun
ada di tempatnya. Sayangnya, sang kepala sekolah yang baru dipindah dari
kabupaten itu tak pernah mendapati pindahan dari luar negeri. Sempat kami
terkaget-kaget ketika beliau menyatakan bahwa Zaki akan dimasukkan ke kelas
satu karena system pendidikan yang berbeda dari kedua negara.
“Waduh, ya nggak gitu, lah, Pak. Umurnya kan sudah Sembilan
tahun, masak balik kelas satu,” tanggap suami keberatan.
Akhirnya kami pamit setelah dijanjikan akan diberi keputusan
minggu depan.
Hari itu, kami pulang dengan perasaan sedih. Esok sudah
tahun baru. Tanggal 4 Januari anak-anak sudah kembali masuk sekolah setelah
cuti semester ganjil. Dan Zaki belum mendapat sekolah.
**
Tanggal 3 Januari, kami kembali berniat untuk mencari
sekolah. Niat itu kami sampaikan pada Bapak dan Ibu yang sudah seminggu ini
tiap hari ke rumah, membantu mengawasi tukang.
“Ajaklah Zakinya,” saran Bapak.
Tadinya aku berniat untuk pergi berdua saja dengan suami.
Tapi mempertimbangkan saran Bapak, akhirnya kami mengajak Zaki ikut serta.
Dengan berbaju batik, si tengah duduk di tengah motor, kami
apit.
“Ke mana, ni, Ma? Gimana kalau ke Kauman 1?”
Entah, saya yang biasa mendebat usulan suami karena biasanya
punya pertimbangan yang berbeda dengannya, hari itu mmenurut. Setuju seratus
persen. Sepakat bulat. Sepenuh harapan kami pun berangkat ke sekolah yang
terletak di sebelah Masjid Jami itu.
Memasuki gerbang SD
favorit di Malang itu, selaksa doa saya panjatkan. Saya meminta Zaki berdoa,
meminta yang terbaik dari Allah untuknya. Ia mengangguk.
Masuk ke ruang kepala sekolah. Duduk berjajar.
Bu Anita datang menemui.
“Iya, Bu. Jadi saya kembali datang kemari, membawa Zaki.”
“Oh, ini yang mau sekolah, ya? Kelas 3, ya?”
Kami mengangguk. Bu Anita masuk kembali, pamit melihat
kemungkinan kelas kosong. Datang kembali dengan wajah berbinar.
“Alhamdulillah ada bangku untuk Zaki,” serunya menggetarkan
jantung kami.
“Alhamdulillah, rezekimu, Nak,” saya terpekik gembira. Zaki
tersenyum tenang.
“Okey, karena sudah deal, saya pamit dulu, ya. Sebentar lagi
Bu Retno datang, mengurus semuanya,” ujar Bu Anita.
Kami mengangguk, mempersilakan.
Proses berikutnya cepat sekali. Sebagai tanda syukur kami
menyumbang sesuai ketentuan yang ditetapkan, lima juta rupiah.
Dan berita gembira kembali datang karena sejak dulu, SDN
Kauman 1 menyediakan celana panjang untuk siswanya.
Allahu Akbar!
Betapa setiap anak memiliki rezekinya sendiri-sendiri.
Terima kasih, Allahku. Atas rezeki besar pendidikan si tengah kami.
Semoga kau dapatkan ilmu manfaat di tempat terbaik pilihan
Allah itu, ya Nakku. Aamiin aamiin yaa robbal ‘alamiin.**