Musibah adalah salah satu takdir. Dan selalu ada hal yang patut disyukuri dari setiap peristiwa.
Ahad pagi itu. 16 Oktober 2016.
Kujahit kerudung baru untuk menghadiri pernikahan putera seorang guru. Satu jam sebelum jam yang ditentukan, kerudung sudah jadi. Semalam, kainnya sudah saya cuci.
Setengah jam menjelang, saya sudah siap.
"Mama berangkat, yaaa." Seru saya pada anak-anak. Thariq dan Farid kompak menjawab sementara Zaki, as always, menyatakan keberatannya.
Dan seperti biasa, Thariq berhasil menenangkan si tengah.
"Ok, kalian mandi dan rapikan diri. Mama sekejap, je. Nanti lepas dari kondangan kita potong rambut dan pergi ke rumah Mbah. Yang Mi syukuran."
Anak-anak senyum.
Diantar Thariq, dibukakan pagar, saya berangkat. Bermotor. Mampir beli amplop, sekalian saya masukkan hadiah untuk tuan rumah, ke dalam amplop.
Saya bayangkan, nanti akan berjumpa dengan teman-teman di sana.
Selesai membeli amplop, saya nyalakan motor. Seraya menjalankan motor perlahan, saya lantunkan doa naik kendaraan.
Minggu yang lengang.
Keluar dari gate perumahan, tetap sepi. Saya melenggang santai. Setelah Graha Dewata, saya belok kanan. Masih di tepi kiri, saya lihat spion. Sepi. Saya tekan lampu sein kanan sebelum kemudian bergerak ke tengah. Beberapa meter lagi saya akan belok kanan. Tepat di tengah, saya lihat spion. Tampak kilatan lampu motor di belakang saya. Kelihatannya motor itu kencang sekali.
Saya belokkan motor ke kanan.
Blast!
Dalam hitungan detik, saya merasa sudah si bawah. Di aspal. Terseret beberapa meter, memcoba berhenti tapi tak bisa serta merta melakukannya. Saya lihat orang ramai mengerumuni saya. Motor sudah jauh tertinggal di belakang. Sepatu terlepas, robek. Dan kaos kaki saya berlubang dengan darah dan kulit yang sobek.
Seorang gadis mendekat. Mengaku menabrak.
Tanpa bisa menahan diri, saya marahi dia. Saya sudah memasang sein, dia malah ikut ke kanan. Harusnya ia ambil kiri. Saya tanya SIM, dia ga punya. Makin sebel jadinya.
Dua puluh menitan saya duduk di kursi depan pos satpam. Seorang akhwat yang bertugas sebagai panitia nikahan menghampiri. Berkata akan memberi obat. Tunggu punya tunggu tak ada apa-apa. Sementara gadis yang menabrak saya terlihat menghubungi keluarganya.
Karena tak tahan dengan nyeri di paha dan punggung kaki, saya minta diantar pulang. Sayangnya, semua tampak sibuk jadi panitia. Sementara para ikhwan tampak kikuk. Wallahua'lam, entah apa alasan mereka.
Pagi itu, saya tak jadi ke kondangan. Saya balik rumah tanpa sempat masuk ke sang guru yang sedang berbahagia.
Sesampai di rumah, anak-anak terkejut melihat Mamanya terluka. Terlebih saat saya cerita. Tampak benar mereka ikut kesal.
Luka saya cuci. Saya beri betadine dan gamat. Darah terus mengucur karena luka cukup lebar dan dalam.
Saya memilih tiduran di kasur seraya menghubungi orang-orang tersayang.
Mas dan Kholis sepakat membawa saya ke UGD. Saya nurut. Tak punya pilihan.
Jam 12, Kholis datang. Memesan Ayam Yogya dab Pizza untuk keponakannya lalu mengajak saya
ke RSSA.
Allah...
Sesampai di RSSA, saya langsung ditangani. Tensi 140/85. Iyalah, deg-degan!
Gelang pasien dipakaikan dan saya pun masuk ICU. Diperiksa dokter residen spesialis syaraf. Aman. Spesialis tulang. Dicek. Ada kemungkinan patah tulang.
Dalam masa 8 jam di ICU, saya di Xray 2 kali. Dijahit. Diobservasi. Dan tepat pukul 7.30 saya diizinkan pulang.
Ada banyak cerita terkait ini.
Tentang adik siaga. Suami yang tanggung jawab. Dan kasih sayang tak bertepi Ibu Bapakku.
Alhamdulillah ala kulli hal...